Selamat Datang Ke Laman Web Rasmi Rumah Putera Harapan (RPH) Ranau

Warkah Ibu

|

http://files.myopera.com/putericahaya/blog/sujud-ibu.jpg

Anakku… surat ini adalah wakil rindu ibu . Linangan air mata berderai menyertai surat ini tika ibu menulisnya. Ibu lihat engkau sekarang ialah seorang lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan hati ibu sebelum ini. Sejak doktor mengkhabarkan tentang kehamilan, ibu amat berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik.

Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan fizikal dan fisiologi ibu. Sembilan bulan ibu mengandungmu. Seluruh aktiviti ibu jalani dengan susah payah karena mengandungkanmu. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaan ibu. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku melayani mu tanpa istirihat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu .

Masa remaja pun engkau masuki. Kematanganmu semakin terlihat, Ibu berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas pemergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru. Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telefon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa minit saja untuk melihat anakku. Ibu sekarang sudah sangat lemah. Tulang belakang sudah membungkuk, gementar sering mengulit tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku… Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Jika kau anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?

Anakku.. Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Bila lagi hatimu terasa dan terbuka untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan keadaan ibu kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan mewarkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,

Anakku… Walau bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…

Anakku… Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nanti sampai tikanya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak umat.

Anakku.. Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Se-kolah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal soleh maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat kejahatan, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.

Anakku… Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam situasi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayang dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.